Pentingnya
Konsep Pendidikan Seni di Sekolah
Oleh : Edlin Y.
Nugraheni*
Seni merupakan
bagian terpenting dalam sebuah khasanah budaya tiap daerah (lokal), begitupun
di dalam sebuah wadah pendidikan atau lingkungan pendidikan. Seperti yang kita
tahu cabang seni di Indonesia terdiri dari seni pertunjukan, seni rupa, dan
seni sastra. Seni pertunjukan itu sendiri terdiri dari seni tari, drama, dan
musik.
Pengertian seni
sebagai benda/karya seni adalah bahwa seni atau keindahan adalah sesuatu yang
menghasilkan kesenangan, tetapi berbeda dengan rasa gembira karena mempunyai unsur trasendental atau spiritual. Pendapat dari Jonatha : Pemahaman seni sebagai kemahiran dimaknai seni merupakan
sebuah kemampuan dalam membuat sesuatu dalam hubungannya dengan upaya mencapai
suatu tujuan yang ditentukan oleh rasio/logika atau gagasan tertentu. Pendapat
ini dinyatakan oleh Aristoteles.
Misalnya Idris Sardi, vokalis Indonesia yang terkenal karena kemahirannya dalam
memainkan karya-karya musik dengan improvisasi-improvisasi nada kreatifnya.
(UT, 2009 : 1.3).
Sementara itu
pengertian seni sebagai kegiatan manusia oleh Leo Tolstoy dikatakan bahwa seni merupakan kegiatan sadar manusia
dengan perantaraan tanda-tanda lahiriah tertentu untuk menyampaikan
perasaan-perasaan yang telah dihayatinya kepada orang lain, sehingga mereka
kejangkitan perasaan yang sama dan juga mengalaminya. Misalnya, Didi Nini Thowok,
seorang penari dan koreografer tari yang tampil dalam kostum wanita membawakan
karya tariannya yang kocak dan baru.
Pendidikan seni
saat ini sudah dimasukkan ke dalam susunan kurikulum Pendidikan Umum Sekolah
Dasar (SD) dengan nama Kerajinan Tangan dan Kesenian (Kertakes), sedang di
Sekolah Menegah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) dengan nama Seni
Budaya. Perubahan nama mata pelajaran ini menyesuaikan kebutuhan politisi serta
kebutuhan lapangan terhadap perkembangan persepsi masyarakat.
Dari perubahan
nama serta pola pembelajaran tersebut para guru sulit memahaminya, bahkan
sebagian guru menjadi apatis terhadap perubahan tersebut dengan menciptakan
model pembelajaran yang justru tidak menghasilkan kompetensi yang diharapkan
atau kontraproduktif. Akhirnya perubahan nama, yang diikuti oleh perubahan system
menjadikan para guru melaksanakan pembelajaran seni sebatas pengetahuan
umumnya, serta tidak mendasarkan pada teori kebutuhan siswa. Kondisi seperti ini
tentunya akan membawa akibat buruk. Pemahaman pelaksana pendidikan terhadap
konsep Pendidikan Seni masih tidak merata; oleh sebagian guru dan orang tua
siswa masih menganggap bahwa pendidikan seni atau Kertakes/Seni Budaya adalah
sebagai: (1) pelajaran bagi calon seniman, (2) pelajaran tambahan sebagai
pemanis kurikulum (superfacial curriculum),
dan (3) pelajaran selingan setelah penat belajar materi pelajaran yang lain
yang dianggap lebih bermanfaat bagi siswa dan kehidupannya.
Pendidikan seni
dikaitkan dengan pelatihan calon seniman, demikian pendapat sebagian besar
orang tua yang kurang paham terhadap tujuan dan fungsi pendidikan seni di
sekolah, terutama di sekolah dasar (SD) maupun sekolah menegah atas (SMA).
Pendapat ini diperkuat oleh sekolah yang memasukkannya materi pelajaran seni
sebagai kegiatan ekstrakurikuler atau kegiatan tambahan yang menyebabkan makin
terpinggirnya pendidikan seni dalam pencaturan/ kompetisi antarmata pelajaran.
Melihat hal ini, orang tua pun melakukan antisipasi yang sangat menyakitkan
hati, mereka segera mengalihkan pandangannya kepada mata pelajaran yang lain:
les, kursus atau studi pendalamannya. Oleh sebagian guru dan kepala sekolah
menganggap pelajaran Kertakes/Seni Budaya atau Pendidikan Seni sebagai
pelajaran calon seniman dengan dimasukkannya ke dalam pelajaran
ekstrakurikuler, dan bahkan dijadikan pemanis keutuhan suatu rangkaian
kurikulum umum. (UT, 2009 : 11.2).
Suatu produk mencipta atau berolah
seni adalah karya seni. Sehingga, tolok ukur keberhasilannya adalah kemampuan
berkarya. Pola pikir seperti ini pun sudah lama berkembang dikalangan
masyarakat luas, dan diterima sebagai hal yang umum.
Dalam sejarah perkembangan
Pendidikan Seni di Indonesia mengalami gelombang diskusi dan perdebatan antara
guru seni, pakar seni dan pemerintah.
1.
Para
guru mengharapkan kepraktisan pembelajarannya karena dianggap pendidikan seni
sebagai bagian mata pelajaran pilihan. Dengan anggapan seperti itu
pembelajarannya diorentasikan kepada pelatihan ketrampilan berseni. Siswa
diajak membuat gambar, menyanyi dan menari dengan metode meniru atau mencontoh.
Pada kesempatan ini anak belum diberikan kesempatan untuk mencipta karya seni.
2.
Sementara
para pakar pendidikan seni lebih idealis dengan mendasarkan pembelajaran pada
konsep kejiwaan, pesan kenegaraan maupun kebutuhan masyarakat. Hal ini tampak
pada dasar pembelajaran seni adalah estetika. Selanjutnya, perkembangan
estetika ini dikaitkan dengan perkembangan kejiwaan dan kebutuhan mental, serta
perkembangan fisik yang didorong oleh ketrampilan fisik (skill).
3.
Pada
posisi yang lain, pemerintah menghendaki pendidikan seni yang dimasukkan ke
dalam kurikulum umum ini pada dasarnya merupakan satu kesatuan dengan tujuan
kenegaraan, sehingga perilaku pendidikan (tidak terkecuali) berorientasi
menyukseskan pembangunan. Sisi negative dari pembelajaran ini siswa akhirnya
diarahkan secara total kepada kebutuhan tenaga kerja (sumber daya manusia).
(UT, 2009: 11.3)
Masuknya
pendidikan seni dalam rangkaian utuh kurikulum sekolah sebenarnya mempunyai
tugas khusus. Seperti halnya dengan mata pelajaran matematika, atau pun
pelajaran bahasa yang mempunyai tugas dan misi khusus. Tugas utama pendidikan
seni adalah mengembangkan perasaan agar keseimbangan jiwa anak terjaga sampai
dewasa. Di samping itu, Pendidikan Seni diberi tanggung jawab mengembangkan
kemampuan rasa anak untuk memahami persoalan-persoalan yang bersifat sosial dan
harus diselesaikan melalui latihan berfikir dan memecahkan persoalan secara
pasti melalui angka.
Banyak pelaksana
pendidikan khususnya guru yang belum menyadari bahwa pelajaran Kertakes dan
Seni Budaya merupakan salah salah satu mata pelajaran untuk membina kemampuan
berfikir secara komperhensif dengan merasakan gejala alam melalui pengamatan
bentuk suatu obyek. Pengamatan dapat digunakan untuk mengembangkan rasa toleransi
sosial, rasa keindahan, rasa keagamaan untuk memahami alam.
skema ini tampak
bahwa kegiatan berkesenian membutuhkan kerja kreatifitas, sensitivitas (rasa),
dan karsa atau (mood) yang kesemuanya
memberikan korelasi positif terhadap pembinaan cipta, rasa, dan karsa yang
senantiasa dibutuhkan oleh siswa. Pelatihan dalam menciptakan atau memproduksi
karya akan memberikan pemindahan kecakapan (transfer
of traning) dalam berfikir (kognisi), perasaan (afeksi) dan Karsa
(psikomotor). Disamping itu terjadi pemindahan nilai dari hakikat berfikir akan
berkembang kemampuan mencipta, hakikat kepekaan rasa akan berkembang rasa
toleransi social antar teman yang kuat serta keinginan untuk menciptakan
kehidupan praktis melalui berkarya praktis (life
skill).
Sehingga berbeda
sekali pemahaman didalam pembelajaran pendidikan kesenian untuk para seniman
dan para guru atau pendidik. Kurikulum maupun system pemberian materi yang
memiliki ketentuan yang diharapkan mahasiswa untuk menguasainya juga
dipertimbangkan bobot dan manfaaatnya untuk dikemudian harinya bagi mahasiswa.
Disini seperti halnya yang terdapat di FKIP unlam yang membuka program bagi
pendidik seni yang terampil dan terlatih.
FKIP Unlam
memiliki program yang mengkhususkan dalam bidang seninya, ada tiga macam seni
yang dirangkum menjadi sebuah pendidikan seni, meski seni rupa belum ada namun
tiga bidang yang telah mewadahinya menjadikan progam untuk seni budaya nantinya
memiliki generasi yang peduli dan melestarikan budaya khususnya budaya lokal.
Program studi dengan nama SENDRATASIK
(Seni Drama, Tari dan Musik). Program Studi yang baru memiliki empat
angkatan ini, sudah memiliki beberapa segudang prestasi yang sangat diperlukan
dalam pengembangan seni selanjutnya. Seperti Juara I Festival Mamanda
se-Kalimantan Selatan, Juara I sajian terbaik Teater karya A. Adjim, Juara I
karya tari se- Universitas Banjarmasin, Juara II Musik Tradisi se- Kalimantan
Selatan, dan masih banyak lagi prestasi yang mahasiswa raih. Namun dari
prestasi tersebut tak menutup kemungkinan telah muncul Galuh Banjar yang
ternyata mahasiswa Sendratasik untuk mewakili Kalimantan Selatan di kancah
Nasional, yaitu Neneng Putri Sari Ramadhan. Mohammad Budi Zakia Sani juga
merupakan salah satu juara II sebagai Duta Mahasiswa se-Kalimantan Selatan.
Fahrul Anwar juara III Bakisah bahasa Banjar se- Kalimantan Selatan. Kegiatan
lain yang juga melibatkan mahasiswa dan
dosen Sendratasik yaitu mengikuti ‘Solo Keroncong Festival’ dalam group Suara
Banua mewakili Kalimantan Selatan ke kota Solo Jawa Tengah. Banyak undangan
untuk pengisian kesenian baik Drama, Tari maupun Musik, di dalam maupun luar
Banjarmasin.
Pembelajaran
seni yang menuntut untuk menjadi seorang pendidik yang terampil baik secara
teori maupun praktek, maka peguasaan materi bagi mahasiswa harus dioptimalkan.
Tidak mungkin seorang guru seni hanya bisa ceramah atau berteori saja, padahal
tututan praktek untuk mengajari dalam pengkarakteran di drama, melatih tari daerah
maupun kreasi, bisa memainkan alat musik, itu sebagian bekal dasar bagi seorang
guru seni. Di Sendratasik inilah tiga bidang seni yang diberikan pada mahasiswa
untuk bisa menguasai keseimbangan dari materi perkuliahan. Tidak hanya teori
namun praktek juga harus seimbang, bukan menjadikan seniman atau praktisi yang
ditutut bagi mahasiswa tapi sistem pembelajaran yang baik untuk seorang guru
yang nantinya bisa mentrasferkan ilmunya kepada anak didiknya. Bukan menjadikan
seorang guru yang tidak bisa praktek dalam berkesenian, seorang guru yang
mempunyai bekal konsep dan teori berkesenian untuk diwujudkan secara langsung
ke dalam sistem pembelajarannya, secara riil.
Hal ini juga secara
bertahap dibangunnya sarana dan prasarana guna menunjang kelancaran dalam
belajar. Seperti sekarang ini Sendratasik telah memiliki ruang latihan atau
ruang kaca, sebagai tempat latihan tari setiap saat apabila mahasiswa ingin
berlatih, Studio Musik, dan tempat panggung terbuka untuk Drama, yang berada di
tengah kampus yang di namakan Sakadomas, dan Aula yang disertai panggung kecil,
yang menampung sekitar 200 bernama Aula hasan Bondan.
Didalam
kelancaran pembelajaran perlu di dukung sarana dan prasana yang ada, serta
dukungan dari beberapa pihak. Seperti halnya proses belajar berkesenian, suara
atau bunyi memang tak lepas dari para pendidik seni, contohnya seni Drama yang
lebih ke latihan suara vokal yang keras, Tari pada iringan musiknya, dan Musik
pada suara-suara bunyi dari alat musik itu sendiri. Penempatan ruang belajar
dan latihan di FKIP, ditata sedemikian rupa guna menjadikan kelancaran proses
belajar para calon pendidik seni lebih baik lagi.
Donald Jack
Davis dalam Bryce (1978 :37) menyebutkan pengetahuan seni mempunyai struktur
keilmuan seni : (1) Knowing of the Language of Art. (2) Artist and their World.
Khusus tentang Knowing the Languange of Art dimaksudkan suatu pengetahuan seni
yang diperoleh melalui penghayatan terhadap karya seni. Pengetahuan tersebut
berupa resapan rasa keindahan atau estetika terhadap wujud karya ; pengetahuan
ini diperoleh melalui penghayatan tentang keindahan suatu obyek (seni). Jika
dilihat dari sudut pandang psikologi belajar cara belajar ini disebut dengan
belajar induksi, yaitu belajar memahami bentuk, warna, tekstur serta susunan (struktur
unsur-unsur ujud) sebagai ungkapan batiniah. Dengan kata lain disebut sebagai
bahasa seni atau bahasa keindahan (estetika), yaitu rasa ungkapan yang
dinyatakan dalam bentuk karya seni, entah dalam bentuk karya tari, musik maupun
seni drama. Pemahaman bentuk, suara ataupun gerak ini dapat pula dilakukan anak
melalui pendengaran atau membaca teori tentang unsur-unsur seni. Dari
pengetahuan dasar umum dan luar ini disebut dengan belajar deduktif. Dalam
rangkaian struktur keilmuan, terdapat pengetahuan yang mempunyai sistematika
berfikir, seperti sejarah, sosiologi, dan psikologi maupun teknologi.
Artur Wesley
Dow, berpendapat bahwa dalam proses produksi seni terdapat lima butir
pengetahuan yang dapat diimplementasikan dalam berkarya seni yakni : Obtaining harmony – opposition, Transition, Subordination,
Repetition, Dan symmetry.
Jika seorang
murid telah mampu menguasai lima jurus pengetahuan ini dia akan dapat produksi
karya yang indah atau harmonious
composition. (Bryce B. Hudgins, 1978 : 19). Jadi dalam proses berkarya seni
seseorang harus mendasarkan pengetahuan dari belajar tentang harmoni, dan
pengetahuan ini dapat diperoleh melalui menyususn dan merangkai unsur-unsur
seni dari tiap disiplin ilmu seni, seperti musik, tari, maupun seni drama.
Bagaimana
pendidik seni yang dilakukan di sekolah hanya dapat dilaksanakan pada teori
saja, tidak prakteknya dan mengimlementasikan dengan ilmu lain, tanpa
memperhatikan kemampuan siswa atau bakat yang telah dimiliki setiap siswa.
Untuk
itu marilah kita semua merenungkan bersama-sama pendidikan seni ini yang
sesungguhnya. Melatih dan mengembangkan bakat atau seni yang dimiliki siswa merupakan
pekerjaan yang tidak mudah bagi para guru seni, kalau hanya mengajar guru seni mempunyai
ilmu seni disampaikan kepada siswa sesuai dengan kurikulum yang ada selesai. Namun kalau
melatih atau praktek merupakan
ketrampilan keahlian yang diperlukan dalam mengaplikasikan pada anak didik,
bahkan mungkin tidak semua materi pelajaran guru seni bisa melakukannya. Karena
disamping disampaikan kepada siswa tetapi juga diperlukan kerjasama dari semua
pihak juga merupakan aspek dari pendidikan. Disekolah siswa dididik berkesenian
namun lingkungan tidak mendukung, juga berat bagi lembaga ini melakukan proses
pendidikan seni. Jadi keberhasilan pendidikan seni juga harus disertai dengan kerjasama
dari semua pihak, mau menerima masukan dari orang lain.
*Pemerhati
Pendidikan dan
Tenaga Pengajar FKIP Unlam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar